Friday, June 21, 2019

monolog - distraksi hipotimia


Aku menggunakan pecahan cermin.
Tepat di nadi, agar cepat mati.

Jangan di nadi, di sini saja, di jantung.
Sakitnya melebihi perasaan yang digantung.
Silakan dicoba, kita lihat siapa yang akan berkabung.


Kau tak tahu apa-apa tentang aku!
Diamlah! Aku lelah meladenimu!

Bukankah yang kau inginkan adalah penyembuhan?
Lalu, mengapa kau menambah pedih yang tak tertahankan?


Repot-repot sekali kau mengurusiku.
Jika kau adalah aku, maka seharusnya kau tahu!
Saat ini semua yang terjadi adalah alasan untuk mati. Tidakkah kau mengerti!?

Aku mengerti, namun kau harus segela pulih.
Pulih dari luka yang perih, pulih dari hati yang terasa mendidih.


Tidak ada yang bisa hentikan aku untuk mati! Ujung pecahan cermin--
Aku akan membiarkan kau bunuh diri, setelah mendengarkan perkataanku ini;

Dengar, 
dunia dan seisinya hanyalah tipu daya bagi mereka yang mudah terbuai.

Menceramahi hanya membuat aku semakin ingin mati!

Seluruh duka dan lukamu adalah fana.

Seluruh nafas yang aku hembuskan berkata, tiada lagi yang harus aku lakukan di dunia.

Yang abadi bukanlah nyawamu, tapi guratan tinta yang kau gariskan di ujung kisahmu.

Mari, mati bersama.

Jika kau ingin semua ini berakhir, maka berjuanglah sampai titik nadir.
Bukan dengan bunuh diri hingga kehilangan harga diri.


Tolonglah, aku hanya ingin mati!

Percayalah, menyerah pada takdir takkan menyelesaikan apa-apa.

Aku lelah! AKU LELAH!

Maka berserahlah.

Berserah? HAHA!
Aku bahkan tak punya tempat untuk rebah.
Semua topeng itu menuntut aku untuk tabah.
Aku ... lelah.

Bentangkan sajadah. 

Kau punya Allah.

Allah...?

Ya, pemilik semesta, pemilik segalanya.


Tentang bahagiamu, itu mudah bagi-Nya.

Asal satu, percayalah pada janji-Nya.

Percayalah pada janji-Nya.


...


pecahan cermin itu,
aku buang jauh-jauh.


(Karya kolaborasi:
elsa madaris & devie ariany)

No comments:

Post a Comment