Tuesday, June 25, 2019

cinta diam-diam, katanya





diam-diam,
ketika kita berada
di ruangan yang sama,
namun terhalang
untuk bahkan saling
melempar sapa.

aku akan mencuri waktu.
untuk menatap punggungmu,
tersenyum tenang,
lalu mengucap syukur,
tentang keberadaanmu.

hey, hantu!



berayun-ayun
namun tak menapak.
berlagu sendu
namun tak terdengar.

kepala tanpa badan
badan tanpa kepala
lalu lalang
di tengah kota.

lucu ketika
beberapa dari manusia
mati-matian berusaha
pura-pura tak melihat kita.



00:00

Sunday, June 23, 2019

aku melihatnya



Aku melihatnya.

Di ujung jalan sana.
Sendirian, meringkuk,
memeluk dirinya sendiri.
Agungkan botol-botol
yang isinya tak lebih dari
kesia-siaan.


Aku melihatnya.

Memaki-maki, menyakiti diri sendiri;
gunting di tangan kanan,
pisau di tangan kiri.
kadang berteriak tentang
betapa kecewa hatinya.

Beberapa orang melewatinya.
Ada yang memuntahkan
sumpah serapah
bagi sikapnya yang meresahkan.
Beberapa lagi mendoakan,
semoga ia cepat-cepat
kembali Tuhan waraskan.


Aku melihatnya.

Pun matanya, yang telah
berkali-kali menatapku.
Tersenyum sendu,
tatapnya menitip pesan:



'Jika melihat bayanganmu
dalam aku,
maka berusahalah untuk
tidak mewujudkan itu.

Aku boleh gila.
Kau, tetaplah waras.'



04:12 pagi

aku tenang


Aku, sedang di sini sekarang. Mempelajari bahasa dari sumber ketenteraman, Alquran.

Pendidikan Bahasa Arab.

Baru beberapa bulan aku berjalan dan berlari bersama orang-orang di jurusan ini, bukannya merasa sulit, aku semakin menyukainya. Teduh rasanya, duduk bersama orang-orang yang tujuan hidupnya benar-benar Allah. Segalanya mengikuti apa yang telah diatur oleh Islam. Itulah mengapa aku mengatakan jurusan ini menenangkan. Karena pada dasarnya semua hal dalam Islam adalah untuk ketenangan.

Aku mengerti, betapa bahasa Arab rumit untuk dipahami. Tapi aku juga lebih dari tahu, kalau bahasa Arab bukan sesuatu yang mustahil untuk dipelajari.

Perjalanan kami, masih terlampau jauh dan takkan menemui dekat jika kami menyombongkan diri dengan apa yang telah dan akan kami ketahui. Semua orang di sini mengajarkanku tentang rendah hati. Tak ada yang ingin tinggi sendiri, tak ada yang lelah mengajak bersama menggapai mimpi.

Aku, tenang di sini.




11 Maret 2019
03:46

Saturday, June 22, 2019

seorang teman


Seorang teman duduk merenung.
Tak lama air mata turun melewati pipinya.
Sungguh ingin aku bertanya "mengapa?"
Namun wajahnya menolak tepat sebelum aku bertanya.

Seorang teman duduk termenung.
Tak lama kepala ia tundukkan dalam-dalam.
Sungguh ingin aku menghiburnya,
tetapi kesakitan telah merenggut habis tawanya.

Seorang teman duduk tak tenang.
Gurat kecewa kentara di matanya.
Aku berlutut lalu memeluknya,
agar setidaknya, ia tak merasa sendirian di dunia.

Seorang teman duduk tersedu,
bahuku basah oleh air matanya.
Katanya, hidup begitu tak adil.
Aku tersenyum lalu berkata,
"Hidup adil karena telah membagi luka dan bahagia pada porsi yang seharusnya."



22:34 PM

Friday, June 21, 2019

monolog - distraksi hipotimia


Aku menggunakan pecahan cermin.
Tepat di nadi, agar cepat mati.

Jangan di nadi, di sini saja, di jantung.
Sakitnya melebihi perasaan yang digantung.
Silakan dicoba, kita lihat siapa yang akan berkabung.


Kau tak tahu apa-apa tentang aku!
Diamlah! Aku lelah meladenimu!

Bukankah yang kau inginkan adalah penyembuhan?
Lalu, mengapa kau menambah pedih yang tak tertahankan?


Repot-repot sekali kau mengurusiku.
Jika kau adalah aku, maka seharusnya kau tahu!
Saat ini semua yang terjadi adalah alasan untuk mati. Tidakkah kau mengerti!?

Aku mengerti, namun kau harus segela pulih.
Pulih dari luka yang perih, pulih dari hati yang terasa mendidih.


Tidak ada yang bisa hentikan aku untuk mati! Ujung pecahan cermin--
Aku akan membiarkan kau bunuh diri, setelah mendengarkan perkataanku ini;

Dengar, 
dunia dan seisinya hanyalah tipu daya bagi mereka yang mudah terbuai.

Menceramahi hanya membuat aku semakin ingin mati!

Seluruh duka dan lukamu adalah fana.

Seluruh nafas yang aku hembuskan berkata, tiada lagi yang harus aku lakukan di dunia.

Yang abadi bukanlah nyawamu, tapi guratan tinta yang kau gariskan di ujung kisahmu.

Mari, mati bersama.

Jika kau ingin semua ini berakhir, maka berjuanglah sampai titik nadir.
Bukan dengan bunuh diri hingga kehilangan harga diri.


Tolonglah, aku hanya ingin mati!

Percayalah, menyerah pada takdir takkan menyelesaikan apa-apa.

Aku lelah! AKU LELAH!

Maka berserahlah.

Berserah? HAHA!
Aku bahkan tak punya tempat untuk rebah.
Semua topeng itu menuntut aku untuk tabah.
Aku ... lelah.

Bentangkan sajadah. 

Kau punya Allah.

Allah...?

Ya, pemilik semesta, pemilik segalanya.


Tentang bahagiamu, itu mudah bagi-Nya.

Asal satu, percayalah pada janji-Nya.

Percayalah pada janji-Nya.


...


pecahan cermin itu,
aku buang jauh-jauh.


(Karya kolaborasi:
elsa madaris & devie ariany)

sorry for writing all the poems about you




pena menari di atas kertas,
lalu jejak hitam membekas.
demikianlah,
bagaimana puisiku tercipta.

jam di dinding berdetak.
rasa meriak lalu mengombak.
sembari bibir berdoa,
semoga akan baik-baik saja.

maafkan pena ini,
ia tak tahu
apa yang tuannya mau.

maafkan pena ini,
ia tak tahu
siapa yang tuannya tuju.

maafkan aku,
karena terus menulis
puisi tentangmu.


19:20 PM

Thursday, June 13, 2019

kita dan mereka



(1)
Orang-orang di sekelilingmu,
adalah mereka yang harusnya
jadi prioritasmu,
untuk dijaga perasaannya.

Masalah mereka menjaga perasaanmu atau tidak,
biarlah itu menjadi urusan Tuhan.

(2)
alasan-alasan,
mengapa kita harus belajar
mengerti dan memahami
apa yang mereka simpan di hati,

adalah agar ego,
tak kita beri makan,
tak kita biarkan mengakar,
dan hati,
tak kita biarkan mati.



12:11
saat sedang berduaan
dengan hujan,
di hari jum'at
yang damai

hal paling tidak menyakitkan



Beberapa kali, akan datang saat di mana,
hal paling tidak menyakitkan dalam hidup,
adalah kesakitan itu sendiri.
Yang harus dilakukan adalah bersabar,
dan bersyukur.
Masih merasakan sakit,
berarti kita masihlah manusia,
yang lemah, tanpa Tuhannya.

Sunday, June 9, 2019

apa?



Jika diingat kembali, selalu ada yang memakan isi kepala pelan-pelan.

Dulu begini, sekarang begitu.

Apa yang berubah sebenarnya?
Haha, memangnya diberi kesempatan jadi diri sendiri?

Apa yang melelahkan sebenarnya?
Haha, memangnya diberi kesempatan mengatakan itu dan ini?

Apa yang menyakitkan sebenarnya?
Haha, memangnya diberi kesempatan mengendalikan kata-kata tajam bak belati?

Tuesday, June 4, 2019

warna-warni



Setiap kepala,
adalah hasil ramuan
dari tangan-tangan berbeda.
Setiap hati,
adalah kumpulan keping
yang bertahan dari
badai-badai kemarin.

Setiap manusia,
adalah rumah bagi
kepala dan hati
yang warna-warni.

-elsa
14:31

hujan pikiran - mungkin



(1)
Setelah semua yang terjadi,
mengapa kembali?
Adakah kamu pahami,
kalau luka yang kemarin itu,
pertanda Tuhan
tak setujui kisah ini?

(2)
Mungkin akan sepi jika sendiri,
tetapi terbiasa dengan dosa,
bukanlah hal baik.

(3)
Mungkin akan lebih menyakitkan
jika kamu curahkan,
tetapi terlalu banyak memendam
dan terus-terusan berpura-pura kuat,
bukanlah hal baik.

13:06

sekarang?



sekarang,
apa yang sedang diperjuangkan?
sudah sembuh?
sudah diberi jeda?

sekarang,
apa yang paling membuat lelah?
sudah bisa terima?
sudah ringan?
atau masih menjadi beban?

sekarang,
apa yang menjadi prioritas?
bagaimana kepala?
bagaimana hati?
sudah selesai berperang?



--jika renung telah menjawabnya,
ajak aku dalam obrolan berdua.
aku, akan selalu bersedia.

@elsamadaris
Photo from: pinterest

Begini, Sayang.



Sayang, sakit akan sembuh.
Luka akan lupa.
Sedih sementara,
pun dengan bahagia.

Tetapi bila berdosa,
nikmat beribadah pada Tuhan-mu,
akan perlahan ... sirna.

Sedangkan satu-satunya
yang kaubutuhkan
agar hidup bahagia
adalah ridho-Nya.

Tak sungguh-sungguh engkau
meminta bahagia pada-Nya
jika yang kaulakukan
masih mengundang murka-Nya.

Sayang, dunia akan hancur.
Bumi akan binasa.
Kau, dia, akan hilang.
Mati ditelan masa.

(karena kalian makhluk fana
yang tiada berkekuatan
terlebih di hadapan-Nya)

Lalu ketika nanti ditanya,
apa yang dilakukan selama di dunia,
akan menjawab apa?

Tahu dirilah,
manusia.


-08:47
28 Mei 2019
dalam rangka
menampar diri sendiri

(Photo from: pinterest)

reda, rela.



Meredalah sejenak, hujan.
Agar puan ini bisa memaknai,
rasa gelisah yang selama ini
gerogoti hati.

Lalu, kembalilah dan beritahu aku,
seberapa rela langit melepas pergimu?
Aku ingin tahu.

Meredalah sejenak, hujan.
Agar puan ini bisa berdamai
dengan segala ketetapan
tanpa banyak pertanyaan.

Lalu, kembalilah dan beritahu aku,
kapan langit bisa mengajariku
menjadi seluas bentang birunya?
aku ... mau.


--elsa
photo from: pinterest

pulang



halo,
mentari yang menjelma bintang-bintang.
besok, aku pulang.
mengobati rinai mata-mata yang kelelahan
menyelesaikan perih kaki-kaki yang memijak duri.

kalau dijabarkan satu-satu,
kabar dari rindu,
takkan habis lembar walau seribu,
takkan selesai lagu walau
digunakan seluruh waktu.

lengkung tipis membawa pandang
menatap lagi jalan setapak untuk pulang.
tak sabar aku beradu tatap
dengan wajah-wajah lama.

yay! bau rumah sudah tercium,
mengharum!

halo,
mentari yang menjelma bintang-bintang.
besok, aku pulang.
semoga hati miliki rehat panjang
semoga terik teredam, bahkan padam.

Aamiin, Allahumma aamiin.

--ditulis semalam sebelum pulang
elsamadaris
Photo from: pinterest