Suatu sore, yang tak terlalu damai. Bukan cuaca yang sedang tidak baik-baik saja, kita, yang sedang perang dingin saling membekukan kata.
Kamu terlalu sering bersenda gurau,
hingga lupa aku bisa sendu dan kacau.
Kita telah lama berbagi tatap, aku hafal di luar kepala apa makna
setiap air wajahmu. Kalimat-kalimat yang akhir-akhir ini sering aku dengar di
dalam kepala sendiri, ternyata hasil tafsirku pada tajam matamu.
"Aku ingin kembali ke hari ketika aku belum mengenalmu. Sebelum
mengenalmu hidupku baik-baik saja. Aku ingin kembali baik-baik saja."
Ini pertama kalinya kau bersuara, sejak jam dinding berdentang menuju pergantian hari pagi tadi. Telingaku diam-diam kembali mendengarnya, tetapi hatiku terang-terangan terluka. Bukan, bukan karena kata-katamu melukaiku. Tetapi dari awal, menyakitimu selalu sama saja dengan bunuh diri.
"Itu kalimat pertama yang kau ucapkan hari ini. Terima kasih sudah
mau bicara."
"Lagi-lagi kau mengajakku bercanda."
"Aku tak tahu lagi harus menghadapi situasi ini seperti apa."
"Kita sudah terlalu lelah terhadap satu sama lain."
"Mungkin kita bisa istirahat sebentar?
"Tidak. Kita harus selesai."
Perdebatan pendek, yang berhasil membuatku melewatkan beberapa detak jantung.
Tetapi, sakit
yang ini bukan mimpi.
Aku tak bisa
menunda tidur untuk menghindarinya, atau bangun dari tidur untuk tidak
merasakannya sama sekali.
"M-maaf, aku salah," ucapku, entah sudah yang keberapa kali
pekan ini.
"Lalu apa dengan menyalahkanmu hatiku bisa kembali baik-baik
saja?"
"Dengan apa aku bisa membuat hatimu kembali baik-baik saja?
"Ada dalam kalimatku yang pertama."
Aku tersenyum berteman pipi yang basah dengan air mata. "Baiklah.
Mari kita kembali masing-masing saja."
Tapi, jatuh memang selalu bersahabat dengan patah, ya?
(Dalam buku Percakapan dengan Cermin karya Elsa Madaris, hal. 42)