Saturday, May 4, 2024

Tetapi, sakit yang ini bukan mimpi.

            


            Suatu sore, yang tak terlalu damai. Bukan cuaca yang sedang tidak baik-baik saja, kita, yang sedang perang dingin saling membekukan kata.

Kamu terlalu sering bersenda gurau,

hingga lupa aku bisa sendu dan kacau.

Kita telah lama berbagi tatap, aku hafal di luar kepala apa makna setiap air wajahmu. Kalimat-kalimat yang akhir-akhir ini sering aku dengar di dalam kepala sendiri, ternyata hasil tafsirku pada tajam matamu.

"Aku ingin kembali ke hari ketika aku belum mengenalmu. Sebelum mengenalmu hidupku baik-baik saja. Aku ingin kembali baik-baik saja."

Ini pertama kalinya kau bersuara, sejak jam dinding berdentang menuju pergantian hari pagi tadi. Telingaku diam-diam kembali mendengarnya, tetapi hatiku terang-terangan terluka. Bukan, bukan karena kata-katamu melukaiku. Tetapi dari awal, menyakitimu selalu sama saja dengan bunuh diri.

"Itu kalimat pertama yang kau ucapkan hari ini. Terima kasih sudah mau bicara."

"Lagi-lagi kau mengajakku bercanda."

"Aku tak tahu lagi harus menghadapi situasi ini seperti apa."

"Kita sudah terlalu lelah terhadap satu sama lain."

"Mungkin kita bisa istirahat sebentar?

"Tidak. Kita harus selesai."

Perdebatan pendek, yang berhasil membuatku melewatkan beberapa detak jantung.


Tetapi, sakit yang ini bukan mimpi.

Aku tak bisa menunda tidur untuk menghindarinya, atau bangun dari tidur untuk tidak merasakannya sama sekali.

 

"M-maaf, aku salah," ucapku, entah sudah yang keberapa kali pekan ini.

"Lalu apa dengan menyalahkanmu hatiku bisa kembali baik-baik saja?"

"Dengan apa aku bisa membuat hatimu kembali baik-baik saja?

"Ada dalam kalimatku yang pertama."

Aku tersenyum berteman pipi yang basah dengan air mata. "Baiklah. Mari kita kembali masing-masing saja."

Tapi, jatuh memang selalu bersahabat dengan patah, ya?


(Dalam buku Percakapan dengan Cermin karya Elsa Madaris, hal. 42)

Tuesday, June 25, 2019

cinta diam-diam, katanya





diam-diam,
ketika kita berada
di ruangan yang sama,
namun terhalang
untuk bahkan saling
melempar sapa.

aku akan mencuri waktu.
untuk menatap punggungmu,
tersenyum tenang,
lalu mengucap syukur,
tentang keberadaanmu.

hey, hantu!



berayun-ayun
namun tak menapak.
berlagu sendu
namun tak terdengar.

kepala tanpa badan
badan tanpa kepala
lalu lalang
di tengah kota.

lucu ketika
beberapa dari manusia
mati-matian berusaha
pura-pura tak melihat kita.



00:00

Sunday, June 23, 2019

aku melihatnya



Aku melihatnya.

Di ujung jalan sana.
Sendirian, meringkuk,
memeluk dirinya sendiri.
Agungkan botol-botol
yang isinya tak lebih dari
kesia-siaan.


Aku melihatnya.

Memaki-maki, menyakiti diri sendiri;
gunting di tangan kanan,
pisau di tangan kiri.
kadang berteriak tentang
betapa kecewa hatinya.

Beberapa orang melewatinya.
Ada yang memuntahkan
sumpah serapah
bagi sikapnya yang meresahkan.
Beberapa lagi mendoakan,
semoga ia cepat-cepat
kembali Tuhan waraskan.


Aku melihatnya.

Pun matanya, yang telah
berkali-kali menatapku.
Tersenyum sendu,
tatapnya menitip pesan:



'Jika melihat bayanganmu
dalam aku,
maka berusahalah untuk
tidak mewujudkan itu.

Aku boleh gila.
Kau, tetaplah waras.'



04:12 pagi

aku tenang


Aku, sedang di sini sekarang. Mempelajari bahasa dari sumber ketenteraman, Alquran.

Pendidikan Bahasa Arab.

Baru beberapa bulan aku berjalan dan berlari bersama orang-orang di jurusan ini, bukannya merasa sulit, aku semakin menyukainya. Teduh rasanya, duduk bersama orang-orang yang tujuan hidupnya benar-benar Allah. Segalanya mengikuti apa yang telah diatur oleh Islam. Itulah mengapa aku mengatakan jurusan ini menenangkan. Karena pada dasarnya semua hal dalam Islam adalah untuk ketenangan.

Aku mengerti, betapa bahasa Arab rumit untuk dipahami. Tapi aku juga lebih dari tahu, kalau bahasa Arab bukan sesuatu yang mustahil untuk dipelajari.

Perjalanan kami, masih terlampau jauh dan takkan menemui dekat jika kami menyombongkan diri dengan apa yang telah dan akan kami ketahui. Semua orang di sini mengajarkanku tentang rendah hati. Tak ada yang ingin tinggi sendiri, tak ada yang lelah mengajak bersama menggapai mimpi.

Aku, tenang di sini.




11 Maret 2019
03:46

Saturday, June 22, 2019

seorang teman


Seorang teman duduk merenung.
Tak lama air mata turun melewati pipinya.
Sungguh ingin aku bertanya "mengapa?"
Namun wajahnya menolak tepat sebelum aku bertanya.

Seorang teman duduk termenung.
Tak lama kepala ia tundukkan dalam-dalam.
Sungguh ingin aku menghiburnya,
tetapi kesakitan telah merenggut habis tawanya.

Seorang teman duduk tak tenang.
Gurat kecewa kentara di matanya.
Aku berlutut lalu memeluknya,
agar setidaknya, ia tak merasa sendirian di dunia.

Seorang teman duduk tersedu,
bahuku basah oleh air matanya.
Katanya, hidup begitu tak adil.
Aku tersenyum lalu berkata,
"Hidup adil karena telah membagi luka dan bahagia pada porsi yang seharusnya."



22:34 PM

Friday, June 21, 2019

monolog - distraksi hipotimia


Aku menggunakan pecahan cermin.
Tepat di nadi, agar cepat mati.

Jangan di nadi, di sini saja, di jantung.
Sakitnya melebihi perasaan yang digantung.
Silakan dicoba, kita lihat siapa yang akan berkabung.


Kau tak tahu apa-apa tentang aku!
Diamlah! Aku lelah meladenimu!

Bukankah yang kau inginkan adalah penyembuhan?
Lalu, mengapa kau menambah pedih yang tak tertahankan?


Repot-repot sekali kau mengurusiku.
Jika kau adalah aku, maka seharusnya kau tahu!
Saat ini semua yang terjadi adalah alasan untuk mati. Tidakkah kau mengerti!?

Aku mengerti, namun kau harus segela pulih.
Pulih dari luka yang perih, pulih dari hati yang terasa mendidih.


Tidak ada yang bisa hentikan aku untuk mati! Ujung pecahan cermin--
Aku akan membiarkan kau bunuh diri, setelah mendengarkan perkataanku ini;

Dengar, 
dunia dan seisinya hanyalah tipu daya bagi mereka yang mudah terbuai.

Menceramahi hanya membuat aku semakin ingin mati!

Seluruh duka dan lukamu adalah fana.

Seluruh nafas yang aku hembuskan berkata, tiada lagi yang harus aku lakukan di dunia.

Yang abadi bukanlah nyawamu, tapi guratan tinta yang kau gariskan di ujung kisahmu.

Mari, mati bersama.

Jika kau ingin semua ini berakhir, maka berjuanglah sampai titik nadir.
Bukan dengan bunuh diri hingga kehilangan harga diri.


Tolonglah, aku hanya ingin mati!

Percayalah, menyerah pada takdir takkan menyelesaikan apa-apa.

Aku lelah! AKU LELAH!

Maka berserahlah.

Berserah? HAHA!
Aku bahkan tak punya tempat untuk rebah.
Semua topeng itu menuntut aku untuk tabah.
Aku ... lelah.

Bentangkan sajadah. 

Kau punya Allah.

Allah...?

Ya, pemilik semesta, pemilik segalanya.


Tentang bahagiamu, itu mudah bagi-Nya.

Asal satu, percayalah pada janji-Nya.

Percayalah pada janji-Nya.


...


pecahan cermin itu,
aku buang jauh-jauh.


(Karya kolaborasi:
elsa madaris & devie ariany)